Sebagian dari kita mungkin pernah mencoba memulai kebiasaan baik
. Tentu saja sebuah hal baru yang baik tidak muncul begitu saja, melainkan harus melalui proses yang panjang agar menjadi sebuah kebiasaan.
Di zaman Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wa sallam, para sahabat merupakan suri tauladan yang baik. Mereka senantiasa mengerjakan amalan sebagaimana yang dikerjakan Rasulullah. Mereka juga tidak membiarkan kadar amalnya menurun dari hari ke hari.
Sebagaimana yang diketahui bahwa iman di dalam hati dapat mengalami fluktuasi. Hal inilah yang dialami kaum muslimin saat ini. Padahal di zaman Nabi, sahabat Rasulullah Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khottab selalu menjaga alaman mereka sebagai bukti keimanan yang kuat.
Abu Qatadah Radhiyallahu �anhu, Imam Abu Dawud, dan Imam Malik bin Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wa sallam bertanya kepada sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu �anhu, �Kapan engkau mendirikan shalat witir?�
Sahabat sekaligus mertua Nabi Shallallahu �Alaihi Wa sallam ini menjawab, �Di awal malam.� Laki-laki yang langsung percaya dengan ajaran Nabi nan mulia ini senantiasa mendirikan shalat witir sebelum tidur.
Tidak jauh dari lokasi sahabat mulia Abu Bakar ash-Shiddiq berdirilah sosok gagah nan tegap dan pemberani, Umar bin Khaththab. Kepada laki-laki yang kelak menjadi Khalifah kedua kaum Muslimin ini, Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wa sallam menyampaikan pertanyaan serupa, �Kapan engkau mendirikan shalat witir?�
Dengan tegas bertabur keyakinan penuh di hati, Umar yang bergelar al-Faruq (pembeda antara kebenaran dan kebatilan) ini berkata, �Di akhir malam.� Ia memilih tidur di awal malam agar dapat bangun dan melakukan munjat kepada Allah Ta�ala dalam tahajjud dan witir di penghujung malam yang terakhir.
Apa yang dikerjakan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu �anhu ini merupakan cerminan sifat hazm, yakni keseriusan terhadap sesuatu dan waspada agar sesuatu itu tidak terlepas dari genggamannya.
Abu Bakar memilih mendirikan witir di awal malam sebab dia tidak bisa memastikan akan bangun atau tidak di sepertiga malam yang terakhir. Padahal, beliau merupakan sahabat yang kualitas ibadahnya amat mengesankan, senantiasa bangun di akhir malam untuk bermunajat kepada Allah Ta�ala.
Sedangkan Umar bin Khaththab memilih mengakhirkan witir di ujung malam, di sepertiga yang terakhir sebagai salah satu bentuk �azm. Yakni kesungguhan, kesabaran, dan kemampuan. Umar dengan sifat kesatria dan keberaniannya benar-benar berupaya hingga terbangun di akhir malam melakukan tahajjud yang diakhiri dengan rakaat witir.
Masing-masing dari dua cara beribadah ini, Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wa sallam mengapresiasinya. Tidak ada yang salah, bahkan keduanya sama mulianya. Abu Bakar dengan kehati-hatiannya dan Umar dengan kesungguhan dan keberaniannya.
Berdasarkan hal ini saja, kita dapat mengetahui bagaimana kualitas kita. Jika ada yang bertanya �mengapa kita jauh tertinggal dari kalangan sahabat selayak Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab?, tentu jawabannya harus digali dari hati yang paling dalam.
Bahkan, jika dikaitkan dengan satu amalan tahajjud dan witir ini, kita benar-benar tidak serius untuk menjadi sepemberani Umar atau sehati-hati Abu Bakar. Kaum muslimin saat ini sangat mudah terpengaruh dengan urusan duniawi dan sulit menjaga urusan ibadanya kepada Allah. Wallahu�alam.
Sumber : infoyunik.com
. Tentu saja sebuah hal baru yang baik tidak muncul begitu saja, melainkan harus melalui proses yang panjang agar menjadi sebuah kebiasaan.
Di zaman Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wa sallam, para sahabat merupakan suri tauladan yang baik. Mereka senantiasa mengerjakan amalan sebagaimana yang dikerjakan Rasulullah. Mereka juga tidak membiarkan kadar amalnya menurun dari hari ke hari.
Sebagaimana yang diketahui bahwa iman di dalam hati dapat mengalami fluktuasi. Hal inilah yang dialami kaum muslimin saat ini. Padahal di zaman Nabi, sahabat Rasulullah Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khottab selalu menjaga alaman mereka sebagai bukti keimanan yang kuat.
Abu Qatadah Radhiyallahu �anhu, Imam Abu Dawud, dan Imam Malik bin Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wa sallam bertanya kepada sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu �anhu, �Kapan engkau mendirikan shalat witir?�
Sahabat sekaligus mertua Nabi Shallallahu �Alaihi Wa sallam ini menjawab, �Di awal malam.� Laki-laki yang langsung percaya dengan ajaran Nabi nan mulia ini senantiasa mendirikan shalat witir sebelum tidur.
Tidak jauh dari lokasi sahabat mulia Abu Bakar ash-Shiddiq berdirilah sosok gagah nan tegap dan pemberani, Umar bin Khaththab. Kepada laki-laki yang kelak menjadi Khalifah kedua kaum Muslimin ini, Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wa sallam menyampaikan pertanyaan serupa, �Kapan engkau mendirikan shalat witir?�
Dengan tegas bertabur keyakinan penuh di hati, Umar yang bergelar al-Faruq (pembeda antara kebenaran dan kebatilan) ini berkata, �Di akhir malam.� Ia memilih tidur di awal malam agar dapat bangun dan melakukan munjat kepada Allah Ta�ala dalam tahajjud dan witir di penghujung malam yang terakhir.
Apa yang dikerjakan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu �anhu ini merupakan cerminan sifat hazm, yakni keseriusan terhadap sesuatu dan waspada agar sesuatu itu tidak terlepas dari genggamannya.
Abu Bakar memilih mendirikan witir di awal malam sebab dia tidak bisa memastikan akan bangun atau tidak di sepertiga malam yang terakhir. Padahal, beliau merupakan sahabat yang kualitas ibadahnya amat mengesankan, senantiasa bangun di akhir malam untuk bermunajat kepada Allah Ta�ala.
Sedangkan Umar bin Khaththab memilih mengakhirkan witir di ujung malam, di sepertiga yang terakhir sebagai salah satu bentuk �azm. Yakni kesungguhan, kesabaran, dan kemampuan. Umar dengan sifat kesatria dan keberaniannya benar-benar berupaya hingga terbangun di akhir malam melakukan tahajjud yang diakhiri dengan rakaat witir.
Masing-masing dari dua cara beribadah ini, Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wa sallam mengapresiasinya. Tidak ada yang salah, bahkan keduanya sama mulianya. Abu Bakar dengan kehati-hatiannya dan Umar dengan kesungguhan dan keberaniannya.
Berdasarkan hal ini saja, kita dapat mengetahui bagaimana kualitas kita. Jika ada yang bertanya �mengapa kita jauh tertinggal dari kalangan sahabat selayak Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab?, tentu jawabannya harus digali dari hati yang paling dalam.
Bahkan, jika dikaitkan dengan satu amalan tahajjud dan witir ini, kita benar-benar tidak serius untuk menjadi sepemberani Umar atau sehati-hati Abu Bakar. Kaum muslimin saat ini sangat mudah terpengaruh dengan urusan duniawi dan sulit menjaga urusan ibadanya kepada Allah. Wallahu�alam.
Sumber : infoyunik.com
Posting Komentar