Assalamu�alaikum Ummi, saya (28) menikah tahun 2002. Saya
menerima pinangan suami meskipun kakaknya telah memposthu watak adiknya yang mudah marah dan berkata kasar. Saya pikir karena dia orang yang tahu agama, pasti dia bisa mengendalikan dirinya dengan baik. Di awal pernikahan, tidak ada masalah. Barulah setelah 3 tahun menikah, suami saya memperlihatkan watak aslinya.
Untuk sebab sepele, suami mudah sekali marah dan mengeluarkan kata-kata kasar, seperti goblok, tolol, sampai sebutan aneka binatang, bahkan hendak menceraikan saya.
Saya hanya diam, walau hati saya sakit setiap kali dihina dan diejek seperti itu. Agar tak sering bertengkar, saya berusaha selalu menuruti dan memenuhi apa kata suami.
Suatu kali, saya tak tahan, ingin bercerai saja. Namun, mertua dan kakak-kakak ipar menguatkan dan menghibur saya. Akhirnya saya membatalkan rencana itu, apalagi mengingat anak-anak pasti menderita kalau orangtuanya bercerai. Tapi sampai kapan saya harus bertahan? Mungkinkah watak dan kebiasaan suami saya itu bisa diubah?
Wassalamu�alaikum
Jawaban Syariah
Ummu Ghumaisha yang Ummi cintai, ada tiga hal yang ditanamkan Allah swt bagi pasangan suami istri, yaitu sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta kasih sesama pasangan) dan rahmah (kasih sayang terhadap keluarganya). Ketiga hal ini Allah swt anugerahkan kepada pasangan suami istri apabila terpenuhinya hak-hak dan kewajiban dalam berumah tangga. Salah satu kewajiban suami kepada istrinya adalah mu�asyarah bil ma�ruf (menggaulinya dengan baik).
Termasuk dalam kategori mu�asyarah bil ma�ruf adalah berkata dengan perkataan yang lemah lembut, tidak menyakiti secara fisik, seperti memukul, menampar muka dan sejenisnya. Tidak boleh menyakiti secara mental, seperti menyakiti dengan perkataan yang mengejek, menghina, mencaci dan sejenisnya. Pun tidak boleh mengintimidasi perasaan, misalnya mengancam akan menceraikan atau tidak akan memberikan nafkah lahir dan batin.
Kalau terjadi tindakan kekerasan dalam rumah tangga seperti ini, dalam hukum Islam dibenarkan seorang istri melaporkan ke pengadilan agama atau pihak lain untuk melakukan ishlah (perbaikan). Bila tidak menemukan jalan keluar maka istri dapat menuntut khulu� (gugat cerai). Jika masih memungkinkan dilakukan ishlah, maka itulah yang terbaik. Apalagi dengan mempertimbangkan masa depan anak-anak.
Hal yang mungkin dilakukan adalah memperbaiki watak dan temperamental suami, secara bertahap dan penuh kesabaran. Ini dapat dilakukan antara lain dengan mengikuti pengajian, ceramah-ceramah khususnya tentang masalah keluarga dan akhlak, atau mengikuti kegiatan konseling bersama.
Jangan abaikan pula untuk melakukan pendekatan mediasi, bisa dari pihak keluarga, seperti mertua, kakak-kakak ipar atau saudara-saudaranya yang lain. Dan tak lupa, senantiasa memohon kepada Allah Yang Maha Membolakbalikkan hati manusia dengan doa, munajat, dzikir, dan bahkan dengan sedekah.
Jawaban Psikologi
Mengingat Nanda sebelumnya sudah mendapatkan informasi mengenai watak suami yang buruk terkait dengan kebiasaannya berkata kasar, maka sebaiknya Nanda sudah menyiapkan mekanisme pertahanan diri untuk tidak termakan omongan suami.
Beberapa saran berikut mudah-mudahan dapat Nanda pertimbangkan:
1. Jangan terpengaruh dengan kata-kata suami yang sedang dalam kondisi emosi memuncak. Sikap Nanda yang menuruti apa yang dia inginkan, menurut Ummi sudah tepat dan dapat Nanda pertahankan, sepanjang, tentu saja, apa yang diinginkan tidak melanggar aturan agama
2. Saat suami marah, jangan dibalas dengan kata-kata yang buruk, karena dapat memicu suami untuk berkata lebih kasar lagi sehingga Nanda sendiri yang lebih sakit hati mendengar ucapannya. Agar emosi negatifnya segera mereda, tenangkan diri Nanda dengan berdiam diri. Harapannya, kemarahan suami segera reda.
3. Ucapkanlah kata-kata positif pada diri sendiri (self talking) ketika mendengar kemarahannya. Misalnya, saya istri yang baik, saya wanita terpelihara, saya ibu yang penuh tanggung jawab, dan sebagainya. Atau istighfar dan zikir. Niscaya hal itu akan mengurangi rasa sakit hati akibat caci-maki suami. Intinya, Nanda perlu mengalihkan perhatian kepada hal lain ketika mendengarkan kemarahan suami, agar emosi Nanda tidak terpengaruh.
4. Kebiasaan buruk suami bukan tidak mungkin dihilangkan meski butuh waktu dan usaha. Saat suasana tenang, Nanda dapat berbicara secara personal dengan suami mengenai kebiasaan buruknya. Ungkapkanlah betapa Nanda terganggu dengan hal tersebut. Sebagai suami yang memahami agama, Ummi yakin suami Nanda pun terganggu dengan kebiasaannya itu. Oleh karena itu, Nanda perlu membantunya untuk mengatasi persoalannya, dengan terlebih dahulu memahami suami lewat dukungan bahwa apa yang dilakukan selama ini bukan keinginan dirinya sendiri.
5. Mengingat anak-anak semakin besar, Nanda dapat meminta suami untuk mulai memikirkan bahwa seorang anak akan meniru kebiasaan yang dilakukan orangtuanya. Ini bisa menjadi motivasi baginya untuk mulai memperbaiki diri.
6. Perlu sekali Nanda sadari, perubahan tidak terjadi secara instan. Karenanya, sabarlah dan jangan mengharap hasilnya segera. Harapan Nanda hendaknya juga realistis. Misalnya, bila selama ini ucapan kasarnya dalam sehari bisa mencapai 20 kali, maka ketika turun menjadi 18 kali, itu sudah merupakan prestasi. Semoga di hari-hari berikutnya akan semakin berkurang. Memahami proses dalam melakukan perubahan adalah penting, agar kita sendiri terus punya harapan dan semangat untuk mencoba.
Jawaban Hukum
Mengenai pilihan untuk bercerai atau tidak bercerai, tergantung Nanda. Semoga Nanda dapat berpikir jernih dengan memohon petunjuk dari Allah swt. Juga, mohon Nanda pertimbangkan kondisi anak-anak apabila perceraian terjadi. Kepentingan terbaik untuk anak (the best interest of the child) adalah salah satu prinsip utama Hukum Perlindungan Anak di Indonesia seperti termaktub pada UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Apa yang suami Nanda lakukan adalah bagian dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seperti tertuang dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Kendati tidak melakukan kekerasan fisik, namun dengan menghina, sejatinya ia telah melakukan kekerasan psikis yang adalah juga bagian dari �kekerasan� menurut UU PKDRT.
Nanda memiliki hak dan dasar hukum untuk bercerai dari sisi hukum perkawinan Indonesia, seperti tercantum secara eksplisit dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo PP No. 9 tahun 1975. Perselisihan terus-menerus dalam rumah tangga yang tak dapat didamaikan adalah salah satu sebab perceraian dapat diajukan.
Namun sekali lagi, mohon Nanda berpikir jernih dan meningkatkan kesabaran seraya berdoa dan berikhtiar. Semoga suatu waktu Allah menjadikan suami Nanda pasangan hidup yang lebih baik sehingga Nanda tak menemukan alasan untuk mengajukan gugatan cerai.
menerima pinangan suami meskipun kakaknya telah memposthu watak adiknya yang mudah marah dan berkata kasar. Saya pikir karena dia orang yang tahu agama, pasti dia bisa mengendalikan dirinya dengan baik. Di awal pernikahan, tidak ada masalah. Barulah setelah 3 tahun menikah, suami saya memperlihatkan watak aslinya.
Untuk sebab sepele, suami mudah sekali marah dan mengeluarkan kata-kata kasar, seperti goblok, tolol, sampai sebutan aneka binatang, bahkan hendak menceraikan saya.
Saya hanya diam, walau hati saya sakit setiap kali dihina dan diejek seperti itu. Agar tak sering bertengkar, saya berusaha selalu menuruti dan memenuhi apa kata suami.
Suatu kali, saya tak tahan, ingin bercerai saja. Namun, mertua dan kakak-kakak ipar menguatkan dan menghibur saya. Akhirnya saya membatalkan rencana itu, apalagi mengingat anak-anak pasti menderita kalau orangtuanya bercerai. Tapi sampai kapan saya harus bertahan? Mungkinkah watak dan kebiasaan suami saya itu bisa diubah?
Wassalamu�alaikum
Jawaban Syariah
Ummu Ghumaisha yang Ummi cintai, ada tiga hal yang ditanamkan Allah swt bagi pasangan suami istri, yaitu sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta kasih sesama pasangan) dan rahmah (kasih sayang terhadap keluarganya). Ketiga hal ini Allah swt anugerahkan kepada pasangan suami istri apabila terpenuhinya hak-hak dan kewajiban dalam berumah tangga. Salah satu kewajiban suami kepada istrinya adalah mu�asyarah bil ma�ruf (menggaulinya dengan baik).
Termasuk dalam kategori mu�asyarah bil ma�ruf adalah berkata dengan perkataan yang lemah lembut, tidak menyakiti secara fisik, seperti memukul, menampar muka dan sejenisnya. Tidak boleh menyakiti secara mental, seperti menyakiti dengan perkataan yang mengejek, menghina, mencaci dan sejenisnya. Pun tidak boleh mengintimidasi perasaan, misalnya mengancam akan menceraikan atau tidak akan memberikan nafkah lahir dan batin.
Kalau terjadi tindakan kekerasan dalam rumah tangga seperti ini, dalam hukum Islam dibenarkan seorang istri melaporkan ke pengadilan agama atau pihak lain untuk melakukan ishlah (perbaikan). Bila tidak menemukan jalan keluar maka istri dapat menuntut khulu� (gugat cerai). Jika masih memungkinkan dilakukan ishlah, maka itulah yang terbaik. Apalagi dengan mempertimbangkan masa depan anak-anak.
Hal yang mungkin dilakukan adalah memperbaiki watak dan temperamental suami, secara bertahap dan penuh kesabaran. Ini dapat dilakukan antara lain dengan mengikuti pengajian, ceramah-ceramah khususnya tentang masalah keluarga dan akhlak, atau mengikuti kegiatan konseling bersama.
Jangan abaikan pula untuk melakukan pendekatan mediasi, bisa dari pihak keluarga, seperti mertua, kakak-kakak ipar atau saudara-saudaranya yang lain. Dan tak lupa, senantiasa memohon kepada Allah Yang Maha Membolakbalikkan hati manusia dengan doa, munajat, dzikir, dan bahkan dengan sedekah.
Jawaban Psikologi
Mengingat Nanda sebelumnya sudah mendapatkan informasi mengenai watak suami yang buruk terkait dengan kebiasaannya berkata kasar, maka sebaiknya Nanda sudah menyiapkan mekanisme pertahanan diri untuk tidak termakan omongan suami.
Beberapa saran berikut mudah-mudahan dapat Nanda pertimbangkan:
1. Jangan terpengaruh dengan kata-kata suami yang sedang dalam kondisi emosi memuncak. Sikap Nanda yang menuruti apa yang dia inginkan, menurut Ummi sudah tepat dan dapat Nanda pertahankan, sepanjang, tentu saja, apa yang diinginkan tidak melanggar aturan agama
2. Saat suami marah, jangan dibalas dengan kata-kata yang buruk, karena dapat memicu suami untuk berkata lebih kasar lagi sehingga Nanda sendiri yang lebih sakit hati mendengar ucapannya. Agar emosi negatifnya segera mereda, tenangkan diri Nanda dengan berdiam diri. Harapannya, kemarahan suami segera reda.
3. Ucapkanlah kata-kata positif pada diri sendiri (self talking) ketika mendengar kemarahannya. Misalnya, saya istri yang baik, saya wanita terpelihara, saya ibu yang penuh tanggung jawab, dan sebagainya. Atau istighfar dan zikir. Niscaya hal itu akan mengurangi rasa sakit hati akibat caci-maki suami. Intinya, Nanda perlu mengalihkan perhatian kepada hal lain ketika mendengarkan kemarahan suami, agar emosi Nanda tidak terpengaruh.
4. Kebiasaan buruk suami bukan tidak mungkin dihilangkan meski butuh waktu dan usaha. Saat suasana tenang, Nanda dapat berbicara secara personal dengan suami mengenai kebiasaan buruknya. Ungkapkanlah betapa Nanda terganggu dengan hal tersebut. Sebagai suami yang memahami agama, Ummi yakin suami Nanda pun terganggu dengan kebiasaannya itu. Oleh karena itu, Nanda perlu membantunya untuk mengatasi persoalannya, dengan terlebih dahulu memahami suami lewat dukungan bahwa apa yang dilakukan selama ini bukan keinginan dirinya sendiri.
5. Mengingat anak-anak semakin besar, Nanda dapat meminta suami untuk mulai memikirkan bahwa seorang anak akan meniru kebiasaan yang dilakukan orangtuanya. Ini bisa menjadi motivasi baginya untuk mulai memperbaiki diri.
6. Perlu sekali Nanda sadari, perubahan tidak terjadi secara instan. Karenanya, sabarlah dan jangan mengharap hasilnya segera. Harapan Nanda hendaknya juga realistis. Misalnya, bila selama ini ucapan kasarnya dalam sehari bisa mencapai 20 kali, maka ketika turun menjadi 18 kali, itu sudah merupakan prestasi. Semoga di hari-hari berikutnya akan semakin berkurang. Memahami proses dalam melakukan perubahan adalah penting, agar kita sendiri terus punya harapan dan semangat untuk mencoba.
Jawaban Hukum
Mengenai pilihan untuk bercerai atau tidak bercerai, tergantung Nanda. Semoga Nanda dapat berpikir jernih dengan memohon petunjuk dari Allah swt. Juga, mohon Nanda pertimbangkan kondisi anak-anak apabila perceraian terjadi. Kepentingan terbaik untuk anak (the best interest of the child) adalah salah satu prinsip utama Hukum Perlindungan Anak di Indonesia seperti termaktub pada UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Apa yang suami Nanda lakukan adalah bagian dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seperti tertuang dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Kendati tidak melakukan kekerasan fisik, namun dengan menghina, sejatinya ia telah melakukan kekerasan psikis yang adalah juga bagian dari �kekerasan� menurut UU PKDRT.
Nanda memiliki hak dan dasar hukum untuk bercerai dari sisi hukum perkawinan Indonesia, seperti tercantum secara eksplisit dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo PP No. 9 tahun 1975. Perselisihan terus-menerus dalam rumah tangga yang tak dapat didamaikan adalah salah satu sebab perceraian dapat diajukan.
Namun sekali lagi, mohon Nanda berpikir jernih dan meningkatkan kesabaran seraya berdoa dan berikhtiar. Semoga suatu waktu Allah menjadikan suami Nanda pasangan hidup yang lebih baik sehingga Nanda tak menemukan alasan untuk mengajukan gugatan cerai.
Posting Komentar